Bagaimana hukum badal umrah sementara yang dibadalkan masih hidup ?
Jawab :
Secara khusus badal umrah tidak dibahas oleh para fugaha. Karena hukum umrah ini terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama’. Mazhab Syafii dan Hanbali menyatakan umrah hukumnya wajib, sebagaimana haji. Tetapi mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan umrah hukumnya sunnah muakkadah.
Oleh karena itu, ketika ulama membahas badal, maka lazimnya yang dimaksud adalah badal haji dimana di dalamnya sudah tercakup umrah, misalnya badal haji tamattu’ atau badal haji giran. Termasuk badal haji ifrad, khususnya menurut Syafi’i dan Hanbali yang berpendapat umrah itu wajib, maka secara otomatis di dalamnya juga tercakup umrah. Setelah jamaah haji selesai melaksanakan haji ifrad, dia wajib melaksanakan umrah. Hal ini berbeda dengan Maliki dan Hanafi. Karena menurutnya umrah hukumnya sunnah, maka dalam bahasan haji ifrad, yang dimaksud terbatas pada haji dan tidak termasuk umrah.
Dengan demikian, hukum badal umrah sementara yang dibadalkan masih hidup, penjelasannya sebagaimana pada bab tentang badal haji bagi jamaah hidup. Ada beberapa hadist yang menjadi landasan dalam soal badal haji dan umrah.
Pertama, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad menyatakan, bahwa seseorang yang istita’ah sebelum sakit harus dibadalkan hajikan (Abu Muhammad Ibnu Oudamah al-Magdisi, al- Mughni, (Kairo: Hajar al-Thiba’ah, 1998 M), Juz V, hlm. 119.)
Berdasar hadis Rasulullah SAW :

Artinya:
Dan Ibnu Abbas ra.: Sesungguhnya seorang perempuan dari suku Khasam bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk melaksanakan haji, sedangkan ayahku sudah sangat tua dan tidak mampu naik kendaraan. Apakah saya boleh menghajikan dia?” Rasulullah menjawab: “Ya” (HR. Malik, Syafi’i, dan Bukhari-Muslim).
Kedua, Imam Malik berpendapat, bahwa seseorang tidak dapat dibadalhajikan, karena ibadah haji harus istitaah dengan diri sendiri bukan istita’ah dengan perantara orang lain (Abu Muhammad Ibnu Oudamah al-Magdisi, al-Mughni, (Kairo: Hajar al-Thiba’ah, 1998 M), Juz V, him. 120).
Namun ada juga hadist yang secara khusus menyebut tentang badal umrah

Artinya:
Dari Abi Ruzain al-‘Ugaili beliau datang kepada Nabi dan bertanya “Ya Rasulallah, ayahku sudah tua, tidak mampu untuk melaksanakan haji dan Umrah”. Maka Rasul menjawab, “Lakukan haji dan umrah untuk orang tuamu” (Muhibbudin at-Thabari, al- Oira li Oashid al-Oura, Beirut : Libanon, al-Maktabah al-Ilmiyah, hlm. 82). Hadist ini juga dimuat dalam Jami’ as-Shahih Sunan Tirmidzi,hadist No. 930, hlm. 183 dan hadist ini disahihkan oleh al-Albani.
Sebagaimana hadist di atas, dan sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad maka orang yang masih hidup dapat dibadalkan haji dan umrahnya. Prinsip yang harus dipenuhi dalam badal umrah sebagaimana haji adalah harus terpenuhinya unsur ma’dhub (sakit berat atau tua renta) dan adanya isti’dzan (izin) dari orang yang sakit untuk dibadalkan.
Dalam kitab al-mausu’ah al-Fighiyah disebutkan bahwa secara keseluruhan para ulama memperbolehkan badal umrah karena umrah ini seperti haji yang dalam pelaksanannya boleh dibadalkan, mengingat keduanya adalah ibadah maliyah dan badaniah. Mazhab Hanafiyah memperbolehkan badal umrah selama ada perintah dari orang yang dibadali. Jika tidak ada perintah, hukumnya tidak sah. Menurut Malikiyah, badal umrah hukumnya makruh, namun jika dilakukan tetap sah. Menurut Syafiiyah, sah badal umrah selama dilakukan untuk orang yang sudah wafat atau tidak mampu melaksanakan sendiri karena alasan keterbatasan fisik atau lemah. Jika seseorang sudah masuk isthithaah untuk melaksanakan umrah wajib dan meninggal dunia sebelum melaksanakan, wajib — hukumnya umrahnya dibadalkan, sekalipun dilakukan oleh orang lain dan tanpa idzinnya sebagaimana bolehnya membayar hutang untuk orang lain. Hanabilah berpendapat, tidak boleh badal umrah untuk yang masih hidup kecuali atas idzinnya. Adapun jika sudah meninggal dunia, maka boleh badal umrah tanpa idzinnya (Mausu’ah al-Fighiyah, Islamweb).
Sumber : Konsultasi Manasik Haji dan Umrah, Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah 1441 H / 2020 M