Mohon penjelasan, bagaimana jika dalam putaran tawaf seorang jemaah beristirahat, atau karena sakit kemudian berhenti di area masjidil haram dan melanjutkan kembali tawafnya setelah sembuh. Apakah tawafnya sah ?
Jawab:
Para ulama’ berbeda pendapat terkait dengan hukum (muwalat) ketersambungan antara satu putaran tawaf dengan putaran selanjutnya. Pertama, menurut mazhab Maliki, Hanbali dan gaul gadim Imam Syafi’i, muwalat menjadi syarat sah tawaf. Artinya, apabila tawaf tidak bersambung antara satu putaran dengan putaran berikutnya, tawafnya tidak sah. Kedua, muwalat hukumnya sunah, menurut mazhab Hanafiyah, Dzahiriyah dan gaul jadid imam Syafi’i.
Namun semua ulama” mazhab sependapat, ada beberapa penyebab terputusnya putaran tawaf namun tidak membatalkan tawaf, sebagai berikut:
a. Istirahat sejenak atau sebentar (al-istirahah al- yasirah) meskipun sebagian ulama” menilainya makruh.
b. Berhenti sejenak / sesaat (al-fash! al-yasir)
c. Karena ada udzur, misalnya karena berlangsungnya shalat jamaah fardhu, datangnya jenazah, melakukan wudhu karena hadast, kepadatan sehingga timbul masyagat atau kepadatan yang menyebabkan jemaah tawaf tidak dapat bergerak maju, atau jeda yang terjadi karena menyempurnakan putaran tawaf di lantai yang berbeda, atau udzur lainnya, sekalipun Mazhab Maliki dan Hanbali mensyaratkan jeda yang terjadi tidak boleh dalam waktu yang lama. IKhalid ibn Abdullah Muslih, Az-Ziham wa Atsaruhu fi Ahkami an-Nusuk al-Hajj wal Umrah, ttt : 1427 H, hal. 27-28].
Sumber : Konsultasi Manasik Haji dan Umrah, Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah 1441 H / 2020 M